METI: ESG adalah Kunci Masa Depan Investasi Hijau RI
- account_circle Adilman Zai
- calendar_month Rab, 30 Jul 2025
- visibility 12
- comment 0 komentar

ESG adalah bentuk nyata dari praktik sustainability. ESG kini wajib, terutama bagi perusahaan ekspor dan energi. (Dok. Istimewa)
PAStime News, Jakarta – Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menilai penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dapat menjadi peluang bagi pengembangan investasi hijau di Indonesia, seiring dengan meningkatnya tuntutan global terhadap praktik bisnis berkelanjutan.
Wakil Ketua Dewan Pengawas METI Herman Darnel Ibrahim mengatakan ESG saat ini bukan lagi sekadar tren, tetapi telah menjadi kerangka utama investasi dan bisnis global untuk menjawab tantangan perubahan iklim.
Bagi Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam, hal ini di nilai sangat terdampak oleh arah baru ini.
“ESG adalah bentuk nyata dari praktik sustainability. ESG kini wajib, terutama bagi perusahaan ekspor dan energi,” ujar Herman dalam Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025, Selasa (29/7/2025).
Herman menjelaskan dalam aspek lingkungan, transisi energi bersih menjadi sorotan utama sejak negara maju menggaungkan beralih dari energi fosil, seperti batu bara, ke energi terbarukan seperti PLTS, PLTA, biomassa dan lainnya.
Perubahan ini berdampak pada Indonesia yang didorong mengurangi PLTU batu bara dan mempercepat energi terbarukan seperti panas bumi dan biodiesel.
Kebijakan Uni Eropa seperti CBAM turut memengaruhi ekspor Indonesia, termasuk sawit, nikel, dan batu bara.
Komoditas yang tidak memenuhi standar emisi karbon dapat di kenai pajak tambahan saat memasuki pasar Uni Eropa.
“Indonesia juga terdampak oleh EU Deforestation Regulation (EUDR), yang melarang impor produk hasil deforestasi. Hal ini menuntut produk ekspor Indonesia, seperti sawit, karet, dan kayu untuk terbukti bebas dari praktik deforestasi,” jelasnya.
Sementara dalam aspek tata kelola, ESG mendorong peningkatan transparansi, praktik anti-korupsi, serta pelaporan keberlanjutan melalui Global ESG Disclosure Standard. Perusahaan yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia wajib mulai menyusun dan mempublikasikan laporan keberlanjutan secara berkala.
Namun, penerapan ESG secara serius di nilai membuka jalan bagi pendanaan dan investasi hijau. Di sektor energi, peluang muncul lewat pengembangan PLTS, panas bumi, hingga baterai kendaraan listrik (EV).
Beberapa instrumen pembiayaan berbasis ESG yang mulai berkembang di Indonesia antara lain Green Bond, Sustainability-linked Loan (SLL), serta perdagangan karbon.
Herman mencontohkan PT Pupuk Indonesia yang mendapat pinjaman berbasis ESG (SLL) Rp600 juta dengan insentif bunga setelah capai target keberlanjutan.
“Pasar karbon juga mulai berkembang. Perdagangan karbon PLTU dan proyek REDD+ bisa menghasilkan kredit karbon, yang menjadi daya tarik bagi investor asing,” imbuhnya.
METI mendorong penguatan ESG nasional lewat harmonisasi regulasi keuangan hijau dan insentif pajak seperti tax allowance dan bebas pajak green bond.
Kemudian, mendorong skema blended finance (gabungan pendanaan publik dan swasta), penguatan peran bank hijau seperti BNI dan BRI, pengembangan Indonesia Carbon Exchange agar lebih likuid, serta peningkatan jumlah penerbitan green bond oleh BUMN dan swasta.
Herman menyarankan Indonesia meniru Malaysia yang mengenakan iuran 1% dari tagihan listrik untuk mendanai energi bersih. Namun, dia menekankan bahwa kebijakan tersebut harus di rancang sedemikian rupa agar tidak membebani masyarakat kecil.
“ESG harus di terapkan bukan hanya untuk menjawab tekanan global, tapi juga untuk memperkuat daya saing ekonomi nasional. Tanpa ESG, kita bisa tertinggal di peta perdagangan dunia,” pungkasnya.
- Penulis: Adilman Zai