Kemenkes Targetkan Eliminasi HIV dan IMS 2030: Ajak Masyarakat Berani Tes, Berani Lindungi Diri
- account_circle dicky
- calendar_month Ming, 29 Jun 2025
- visibility 24
- comment 0 komentar

Kemenkes Targetkan HIV dan IMS Nol Kasus 2030
PAStime News – Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI menegaskan komitmennya untuk mengeliminasi HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada tahun 2030. Strategi utama yang diusung meliputi edukasi, deteksi dini, dan pengobatan yang tepat sasaran menghadapi tantangan tingginya angka kasus yang masih terjadi di Tanah Air.
Data terbaru, Indonesia peringkat ke-14 dunia dalam jumlah ODHIV dan ke-9 untuk infeksi baru. Diperkirakan pada 2025, jumlah ODHIV akan mencapai 564.000 orang. Namun, baru 63% yang mengetahui status kesehatannya. Sebanyak 67% menjalani terapi ARV, tapi hanya 55% yang berhasil menekan virus hingga tidak terdeteksi, dengan risiko penularan sangat rendah.
Dr. Ina Agustina dari Kemenkes menyebut 76% kasus HIV di Indonesia terkonsentrasi di 11 provinsi. Penularan dominan terjadi pada kelompok berisiko tinggi, seperti LSL, waria, pekerja seks, dan pengguna napza suntik. Namun di Papua, kasus bahkan sudah menyebar ke populasi umum, dengan prevalensi mencapai 2,3%.
“Kita tidak bisa anggap remeh. Penularan makin luas dan usia penderitanya makin muda,” ujar dr. Ina dalam konferensi pers daring, Jumat (20/6).
Menariknya, meski angka kasus HIV cenderung stagnan dalam tiga tahun terakhir, kasus IMS justru meningkat. Tahun lalu, tercatat 23.347 kasus sifilis, sebagian besar adalah sifilis dini. Sebanyak 77 kasus bahkan merupakan sifilis kongenital yang di tularkan dari ibu ke bayi. Kasus gonore juga tinggi, terutama di kota besar seperti Jakarta, mencapai 10.506 kasus.
“IMS itu bukan cuma soal individu. Ini persoalan kesehatan publik karena membuka jalan bagi penularan HIV, dan paling banyak terjadi pada usia produktif 25–49 tahun, bahkan mulai meningkat pada remaja 15–19 tahun,” tambah dr. Ina.
Sementara itu, dr. dr. Hanny Nilasari dari FKUI-RSCM menyampaikan bahwa banyak infeksi menular seksual dan infeksi saluran reproduksi tidak menimbulkan gejala, terutama pada perempuan. Akibatnya, banyak yang datang sudah dalam kondisi komplikasi, seperti radang panggul, kehamilan ektopik, hingga risiko infertilitas. Bahkan, bayi yang lahir dari ibu dengan IMS rentan mengalami gangguan kesehatan serius.
“Edukasi reproduksi harus menyeluruh. IMS kini banyak terjadi pada remaja, dan berkontribusi terhadap kehamilan tidak di inginkan maupun angka aborsi,” tegas dr. Hanny.
Gejala IMS bisa berupa luka di area kelamin, cairan tidak normal dari organ intim, rasa gatal, nyeri saat buang air kecil, pembengkakan kelenjar di selangkangan, atau ruam kulit. Penularan terjadi melalui hubungan seksual (oral, vaginal, anal), pertukaran cairan tubuh, serta dari ibu ke anak saat hamil atau menyusui.
Kemenkes menargetkan 95-95-95 pada 2030: 95% ODHIV tahu statusnya, 95% menjalani terapi, dan 95% berhasil menekan virus. Ditargetkan pula eliminasi sifilis dan gonore hingga 90%, serta pencegahan penularan HIV, sifilis, dan hepatitis B dari ibu ke anak (triple elimination).
Saat ini, layanan tes HIV tersedia di 514 kabupaten/kota, IMS di 504, dan tes viral load di 192 daerah. Kampanye pencegahan di gencarkan lewat pendekatan “ABCDE”: Abstinence (tidak berhubungan seks sebelum menikah), Be faithful (setia pada pasangan), Condom, Drugs (hindari narkoba), dan Education (peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat).
“Berani tes, artinya berani lindungi diri dan orang lain. Ini langkah awal menuju Indonesia bebas HIV dan IMS,” tutup dr. Ina Agustina Direktur Penyakit Menular Kemenkes, penuh optimisme.
- Penulis: dicky